Jumat, 18 September 2015

Teka-teki Bila

Lagi….

Pagi-pagi buta aku sudah berada di depan rumahnya. Berteman angin pagi yang begitu menusuk, hingga rapuh tulangku rasanya. Namun tetap saja setiap pagi aku  bertahan seperti ini, menunggu dengan setia. Menunggu pintu gerbang dibuka oleh si empunya rumah.

Lelah penantian itu tak berarti apa-apa jika gerbang itu mulai terbuka. Diawali dengan tokoh gagah, tegap, berseragam putih biru dengan sigap memperlebar ruang untuk ku bisa melihat rumah, yang kupikir lebih tepat dinamakan istana.
Memang hanya rumah model lama, tak bertingkat, perlu reparasi sana-sini, tapi besar, bersih, dan tertata. Dan lihatlah sosok yang muncul dari dalam rumah itu. Seorang putri yang dengan senyumnya membuatku lupa arti lara. Ia bak bidadari yang sedang menjelma. Jika ia benar bidadari yang turun ke bumi untuk mencari selendangnya, maka aku lah orang yang paling berharap supaya selendang itu tak akan pernah ditemukan untuk selamanya. Bagaimana pun aku tak akan sanggup kehilangan pancaran keteduhan yang luar biasa, darinya.

Semejak aku mulai berpakaian putih abu-abu, semenjak itu pula aku mengenal dia. Kami satu sekolah, meski beda kelas aku seolah mengenal betul siapa dia. Dia adalah orang pertama yang menyapaku di sekolah baruku saat itu. Diawali dengan kejadian yang tak disengaja.

“Hmmmm…permisi, mau nanya formulir pendaftaran SMA ini ambilnya di mana ya?” Tanyanya dengan ramah.

“Hem..eh…mmmmm…di mana ya??” Kataku gugup dan tidak memberi jawaban sama sekali.

Aku terlalu terpesona dengan wajah teduhnya. Ada yang lain dari pribadinya, dan itu sesuatu yang tak biasa. Ia tak seperti orang pada umumnya. Ia lah orang pertama yang membuat jantungku berdebar tiga kali lebih cepat. Bahkan bendungan darah tak sanggup menahan derasnya aliran darah yang terpompa semakin cepat.

Saat itu, aku mengalami takut yang luar bisa. Ketakutan ini melebihi takutnya aku saat menghadapi Ujian Akhir Nasional di SMP beberapa bulan yang lalu. Saat itu aku sudah lama tak mengikuti pelajaran karena kepala ku seolah tak ingin bercengkrama dengan soal-soal. Padahal untuk siswa kelas sembilan pembahasan soal-soal itu penting untuk persiapan ujian akhir. Itu semua beralasan, memang sering terjadi seperti ini setelah kecelakaan yang ku alami enam tahun yang lalu. Aku tak begitu mengingatnya tapi itulah yang pernah diceritakan ibu. Aku takut jika masih harus berpakaian putih biru. Aku takut jika tak bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Aku takut mengecewakan ibu.

Ku kira itu adalah hal yang paling menakutkan, namun sekarang aku rasakan takut yang melebihi rasa takut dari takutnya aku sebelumnya. Aku takut kehilangan dia.

Aku merasa sangat dekat dengannya. Tak ingin ada dinding penghalang antara kami. Aku ingin dia, dan aku harap ia jadi bagian dari hidupku. Karena ku bisa rasakan nyawa kami bersatu. Aku ingin selalu bersamanya meski saat itu kami belum lah saling kenal.

Goresan takdir seolah setuju untuk mempersatukan kami. Rumahnya ternyata tak begitu jauh dari rumahku. Dan sejak aku tahu itu, setiap pagi aku selalu berniat mampir ke rumahnya. Tujuanku sederhana, hanya bermaksud mengajaknya untuk pergi sekolah bersama. Tapi sampai detik ini pun aku tak punya cukup keberanian untuk itu, untuk sekedar menyapa.

* * *

Entah karena tingkahku yang berlebihan atau apalah, akhir-akhir ini aku selalu membuat ibu bingung. Aku tahu itu dari muka polos ibu yang diam-diam selalu memperhatikan aku. Aku sangat menyadarinya dan aku maklum. Yah, memang ku akui, banyak perubahan yang ku alami sejak duduk di bangku SMA. Aku lebih rajin ke sekolah, biasanya jika makhluk di kepalaku mulai menari aku langsung meminta ibu untuk membuatkan surat izin tidak masuk sekolah. Tapi kali ini sakit itu tak ada apa-apanya, karena melihat dia merupakan obat paling ampuh tanpa harus membayar mahal. Tidak hanya itu, aku juga lebih sering bangun pagi. Eh…bukan lebih sering tapi memang setiap pagi aku bangun lebih awal. Di sela-sela waktu menjelang ke sekolah biasanya aku membersihkan sepeda motorku supaya selalu terlihat bersih. Berbeda waktu aku masih tercatat di SMP Negeri di kotaku, ibu hampir kehabisan cara untuk membuatku bangun. Nah, itu dia yang mungkin membuat heran ibu. Terlebih aku belum menceritakan kepada ibu tentang dia. Hingga pada suatu pagi…

“Loh kok buru-buru, makan dulu gih ntar kelaparan loh di sekolah!” Kata ibu sembari menyiapkan sarapan di atas meja.

“Tidak bu, aku sudah telat ni bu. Nanti aku sarapannya di sekolah aja ya bu”. Kataku seolah tak ingin menyiakan satu detik pun untuk sesuatu yang ku anggap penting.

“Tapi…..” Kata-kata ibu terputus, karena ibu tahu aku adalah orang yang sulit sekali dicegah. Mungkin itulah salah satu kekuranganku, sulit mengontrol ego. 

“Rayhan pergi dulu bu, assalamualaikum”. Sambungku berpamitan seperti biasa sambil menyalami tangan lembut ibu kemudian pergi.

“Iya, walaikumsalam warah matullahi wa wabarakatuh”. Jawab ibu dengan nada semakin perlahan.

Pagi ini aku merasa benar-benar terlambat. Padahal jam masih menunjukkan pukul 6.25 WIB. Tapi itu lebih sepuluh menit dari biasanya. Kali ini aku kehilangan sensasi sebuah penantian, penantian terbukanya gerbang istana kerajaan.

Gerbang istana sudah terbuka lebar, namun anehnya aku tak melihat lelaki tegap itu di rumah kecil bertuliskan POS SATPAM. Aku tak melihat seorang putri keluar dari istana itu. Aku tak melihat senyumnya pagi ini.

Kulirik jam tanganku, angka 6:57 berkedip menunjukkan waktu saat itu. Sebentar lagi bel sekolah akan berbunyi. Aku tak peduli akan terlambat ke sekolah karena yang di otak ku hanya dia. Aku rela bolos sekolah asal aku bisa menemuinya, terlebih untuk hari ini. Tak sempurna sapaan mentari tanpa lengkungan senyum di bibirnya. Sapaannya tiap pagi pada satpam dan salam kepada orang tuanya sebelum ke sekolah, aku rindu hal itu. Padahal baru hari ini terjadi, tapi aku merasakan rindu yang teramat sangat. Jujur, aku tak mengerti perasaan apa ini. Jika ini yang dinamakan cinta, maka benarlah cinta membuatku buta. Aku tak peduli apapun selain perasaanku dan perasaannya. Aku ingin dia dan berharap dia inginkan aku. Aku benar-benar ingin hidup bersamanya karena ku rasakan jiwa kami satu. Tapi benarkah itu cinta??? Ku rasakan lebih dari itu.

Dibalik itu, dia pula yang membuatku durhaka, durhaka menduakan Sang Maha Cinta. Aku begitu mendewikannya hingga ku lupa pesan ibu kalau cinta nomor satu bukan dari aku untuk aku, bukan untuk ibu, bahkan bukan untuk orang yang paling ku cinta, melainkan pada Sang Maha Pencita, yang menciptakan cinta di hati manusia. Dia-lah yang Kuasa, Allah SWT. Tapi tetap saja aku tak bisa menyalahkan dia, karena dia memang tak bersalah.

Sekarang giliran angka 7:45 yang berkedip di jam tanganku. Belum ku lihat sosok anggun putri keluar dari istananya. 

“Putri, di mana kamu? apakah kamu telah pindah ke singgasanamu yang lain? Putri, lihatlah aku, pangeran yang selalu merindukanmu!” Ucapku dalam hati. Terkesan berlebihan tapi itulah dialog yang ku ingat dari film yang ku tonton tadi malam, dan telah  ku ubah ke versiku sendiri. Film itulah yang membuat aku tidur tidak pada waktu biasanya. Alhasil aku pun juga bangun pada waktu tidak biasanya.

Film itu benar-benar menyentuh hati. Bahkan aku yang sudah lupa kapan terakhir kali menangis, terpaksa mengeluarkan air mata. Menceritakan tentang sebuah keluarga yang bahagia. Lengkap kedua orang tua beserta sepasang anaknya, laki-laki dan perempuan. Mereka saling melindungi satu sama lain, menyayangi, dan mengasihi. Benar-benar keluarga yang sempurna. Pastinya membuat penonton iri akan keadaan yang seperti itu, terlebih aku yang hidup hanya dengan ibuku.

Hingga suatu hari kejadian yang tak diinginkan menimpa keluarga bahagia tersebut. Kecelakan maut saat keluarga tersebut hendak berlibur ke kampung halaman mengunjungi sang nenek. Tragisnya, peristiwa tersebut adalah tabrakan beruntun yang melibatkan lebih dari lima mobil pribadi dan sebuah mini bus. Karena kelalaian sopir mini bus yang mengerem mendadak menyebabkan mobil di belakangnya juga ikut mendadak mengerem. Sebab tidak dapat menahan lajunya, mobil yang berada di belakang mini bus tak sempat berhenti. Dengan dahsyatnya mobil tersebut menabrak mini bus yang berhenti mendadak tersebut. Dan begitu pula yang terjadi pada beberapa mobil pribadi di belakangnya. Dan tahukah kamu? keluarga yang ku nilai perfect itu merupakan bagian dari mereka, korban kecelakaan. Mobil mereka berada di deretan kedua paling akhir di belakang mini bus itu. Tiba-tiba ledakan dahsyat terjadi dari mobil yang tepat berada di belakang mini bus tersebut. Sampai bagian itu aku setengah tertidur, seorang perempuan berkata dengan lirih, “Suamiku, putriku, di mana kalian?” Kemudian senyap…..mungkin aku telah tertidur. Tak beberapa lama kemudian…, “Di mana kalian? Masih adakah atau telah hidup di dunia lain? Aku rindu kalian, sangat merindukan kalian….”. Kata-kata itu terdengar jelas di telingaku, lanjutan dari film itu kah? Tapi suara itu begitu terasa nyata.

* * *

Aku masih bertahan duduk di bawah pohon di seberang jalan rumahnya. Hati kecilku mengatakan aku harus menunggu dia. Dalam lamunanku ku perhatikan detail setiap sudut rumah itu. Rerumputan yang menghijau, mekar bunga, dan kicauan burung di pepohonan sekitar rumah itu. Tak tampak seorang pun. Apa mungkin benar-benar tidak ada orang di rumah? Tanyaku tanpa meminta seseorang akan menjawabnya. Namun jika tidak orang pastilah pintu pagar akan di kunci rapat seperti biasanya, batinku.

Karena rasa penasaran yang tak terbentung, masih dengan seragam putih abu-abu, pelan-pelan aku memasuki halaman rumah itu. Ini pertama kalinya aku menginjak selangkah lebih maju. Biasanya aku hanya berani berdiri di balik pohon tempat ku duduk saat ini.

Belum beberapa langkah dari pintu pagar, yang dalam ilusiku itu adalah sebuah gerbang istana, tiba-tiba …

“Rayhan…” Suara itu lembut menyapaku, tapi tetap saja mengejutkanku. Lagi-lagi jantungku berdetak sangat kencang, sama persis seperti pertama kali kami berjumpa. Dia turun dari mobil, diikuti langkah kedua orang tuannya, serta satpam yang turun dari bangku sopir. Mungkin mereka terburu-buru hingga lupa menutup pintu pagar rumahnya tadi, aku mulai memainkan analisisku.

Sesaat aku diam, memperhatikan lebih dekat wajah yang mampu buatku tenang. Sosok yang ku rindukan dari tadi pagi. Ia tak sampai satu meter di hadapanku. 

“Hey…Rayhan!!!” Panggilnya dengan nada yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Refleks aku menjawab, “Eh…iya…hmmmmm…..” Aku speechless, tidak tahu mau berkata apa. Dan satu lagi hal yang tak terduga dalam hidupku, DIA TAHU NAMAKU.

“Ka…ka…kamu tahu aku?”

“Ya ampun Rayhan kita satu sekolah, kelasmu selisih satu kelas dari kelasku. Masa aku tak kenal!”

“Hm…eh…oh…iyyya iya…”

Sepintas aku sama seperti remaja biasa. Namun aku bukanlah remaja yang aktif seperti umumnya. Aku lebih banyak menyendiri. Pobia akan keramaian sudah ku alami sejak kecil, sejak kecelakaan itu. Aku sulit bergaul dengan orang-orang. Bahkan waktu jam istirahat di sekolah pun lebih banyak ku manfaatkan di perpustakaan, atau sekedar duduk di taman menikmati udara segar. Dan sesekali aku sengaja duduk di teras depan kelas, berharap bisa memperhatikan dia. Karena itu, ku kira dia tidak mengenalku.

“Masuk yuk!” Ajaknya.

“Mmm..yah..”

Di teras rumahnya, kami duduk berdampingan di atas kursi yang dipisahkan oleh sebuah meja.

“Kamu tidak sekolah?” Suaranya semakin lembut terdengar. Kuanggukkan kepalaku mengiyakan.

“Kenapa?” Tanyanya lagi. Kali ini aku menggeleng karena aku memang tak tahu mau menjawab apa.

“Kamu sendiri kenapa tidak sekolah?”

“Tadi kepala kumat, orang tuaku menyuruhku untuk istirahat hari ini”.

“Kepala???? Kamu sakit?” Belum lagi dijawabnya, ibunya datang menghampiri kami.

“Eh… Nak Rayhan ya?” Sapa mamanya yang semula tak menghiraukan aku.

“Loh kok tante tahu?” Pertanyaan itu ku tanya langsung tanpa membuang waktu sedetikpun. Yang ku tahu itu adalah ibunya. Yang membuatku bingung kenapa dia tahu namaku. Padahal baru kali ini aku ke rumahnya. Bahkan ini baru kedua kalinya aku dan dia saling berbicara setelah pertemuan pertama dulu yang tak disengaja. Aku tak pernah mengalami kesulitan seperti ini saat mengisi teka-teki silang, hobiku.  Hal ini terlalu sulit untuk dinalarkan.

* * *

Berjam-jam aku berada di rumah itu. Aku merasakan memiliki keluarga kedua, tentunya ibuku tetap nomor satu. Papa dan mamanya begitu ramah, baru aku mengerti kenapa anaknya juga demikian.

Aku semakin dekat dengan dia. Tuhan seolah memang menginginkan kami bersama. Memang tak ada yang kebetulan, semua telah diatur oleh Yang Kuasa. Jantungku kini sudah normal bila di dekatnya. Hanya otakku yang tak pernah bisa berhenti berpikir berusaha memecahkan teka-teki antara aku dengannya.

Jam tanganku berubah mengkedipkan angka 13:13. Aku masih di rumahnya. Nayla Salsabila, begitulah nama lengkapnya. Aku tahu itu dari Ijazah SMP-nya yang tergantung rapi di dinding ruang tamu. Teman-teman biasa memanggilnya Bila. Dan aku hanya tahu dia sebagai Bila. Bila yang membuatku takut merasakan kehilangan, kehilangan dirinya.

Seusai makan siang bersama, aku terus menelusuri rumah itu. Benar-benar besar, benda-benda antik serta piagan-piagam penghargaan yang tergantung berbaris membuatku merasa berada di sebuah museum. Rumah ini begitu klasik dan unik bagiku.

Tiba-tiba aku terhenti di sebuah foto anak kecil yang tak asing bagiku. Foto anak itu persis seperti anak yang ada di foto yang pernah ditunjukkan oleh ibu. Kata ibu, itu adikku, saudara kembarku. Saudara kandung yang entah di mana setelah kejadian enam tahun yang lalu. Aku terdiam…tak mampu ku lelehkan tubuhku, mematung, membeku. Mungkinkah? Dan film itu??? Ah…lagi-lagi aku terperangkap di teka-teki tentangnya.









Sumber Gambar

6 komentar:

  1. ini cerita fiktif kah...kasamaran emang bawaanya kepingin cepet cepet ketemu... itu film apaan...Cinta akan serasa lebih indah lagi kalau sayang kita dibalas dengan cinta tulus :d

    BalasHapus
    Balasan
    1. eeeakkk... :)

      ini fiktif.... ini lebih sekadar cinta...hehe...

      Hapus
    2. Cie... ini sih fakta yang dibuat jadi cerita fiktif :-d... jujur ini ada unsur pengalaman pribadi kan mba... =))

      Hapus
    3. murni fiktif kok, berdasarkan "pengamatan" pribadi (o)

      Hapus
  2. Bolos sekolah cuma buat ketemu cewek. Konyol juga. :))

    Sodara kembar? Sodara kandung? Jadi, si Bila itu? :/

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya... alay ya... ckkkck

      hayooo.. siapa Bila? :-?

      Hapus

Komentar kalian motivasi menulis saya. Terima kasih atas komentarnya :)